Senin, 25 April 2011

PAJAK DALAM PANDANGAN ISLAM



Definisi  Pajak dalam Islam

Pajak secara umum berarti suatu pembayaran yang dilakukan kepada pemerintah 
untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan dalam hal 
menyelenggaraan jasa-jasa untuk kepentingan umum.
Dalam jenis pungutan yang semakna  dengan pajak ada beberapa nama dan bentuk
demikian pula hukumnya dalam  kacamata Islam. Inilah nama-nama tersebut : Al
Maks atau Adh Dharibah adalah  pungutan yang ditarik dari rakyat oleh para
penariknya (Lisanul Arob  9/217-218)
Al ‘Usyr adalah pungutan sejenis  bea cukai bagi barang yang masuk ke wilayah
kekuasaan kaum Muslimin dari  wilayah lain. Al Kharaj adalah Pungutan yang
dikenakan terhadap tanahdan  termasuk hak-hak yang harus ditunaikan (Ahkamul
Sulthoniyyah hal.261)
Jizyah adalah pungutan yang diwajibkan bagi orang kafir dzimmi (kafir yang 
hidup dibawah kekuasaan Islam) sebagai imbalan atas kekufurannya dan  kewajiban
ini gugur apabila yang bersangkutan masuk Islam (Ahkamul  Sulthoniyyah
hal.252-253)
Itulah empat jenis pungutan yang  ada dalam terminologi Islam. Khusus untuk
pajak yang diterapkan di negri ini  maka lebih dekat dengan definisi dari al
maks atau adh dharibah. Adapun al  kharaj maka tidak bisa disamakan dengan PBB
(Pajak Bumi dan Bangunan) karena  dalam pelaksanaannya terdapat beberapa
perbedaan diantaranya bahwa al kharaj  hanya diberlakukan kepada tanah milik
orang kafir saja. Begitu pula dengan al  ‘usyr (bea cukai) yang memiliki
beberapa perbedaan dengan bea cukai yang  diterapkan di negri ini, diantaranya
adalah penerapan al’usyr hanya bagi  komoditi dari pihak kafir yang negara
mereka (orang kafir) menerapkan bea  cukai terhadap komoditi dari negara
Muslim.

Hukum Al Maks (Pajak) Dalam Islam
Hukum Al Maks adalah haram  berdasarkan dalil nash maupun ijma’ (kesepakatan)
kaum Muslimin, berikut  dalil-dalil tentang keharaman pajak,
Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala,  “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kami saling memakan harta sesamamu  dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku dengan  suka sama-suka di antara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu ;  sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu” (An Nisa 29)
Ayat ini dijadikan dalil oleh para  ulama karena pengambilan pajak yang
diterapkan kepada kaum Muslimin hari ini  adalah bentuk kezhaliman yang nyata
dimana pemungutannya tidak memandang keadaan  seseorang bahkan satu orang dapat
terkena pajak yang berlipat-lipat sebagai  contoh adalah ketika mendapat gaji
seseorang dikenakan pajak penghasilan  kemudian ketika ia belanja kebutuhan
hidupnya di toko atau pasar dengan uang  gajinya orang tersebut dikenakan pajak
lagi yaitu pajak pertambahan nilai  dari barang yang ia beli, inilah bentuk
kezhaliman yang nyata. Apalagi bila  wacana pajak progresif untuk kepemilikan
kendaraan bermotor diterapkan, jelas  lebih terlihat lagi kezhalimannya.
Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala,  “Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang
berbuat zalim kepada manusia dan  melampaui batas di muka bumi tanpa hak.
Mereka itu mendapat azab yang pedih.”  (Asy Syura 42)
Imam Adz Dzahabi dalam Kitab Al  Kabair (Dosa-dosa Besar) menjadikan ayat ini
sebagai dalil tentang kezhaliman  praktek pemungutan pajak.
Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala,  “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta
sebahagian yang lain di antara  kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah)
kamu membawa (urusan) harta itu  kepada hakim, supaya kamu dapat memakan
sebahagian daripada harta benda orang  lain itu dengan (jalan berbuat) dosa,
padahal kamu mengetahui” (Al Baqarah  188)

Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala,  “Dan Syu’aib berkata: “Hai kaumku,
cukupkanlah takaran dan timbangan dengan  adil, dan janganlah kamu merugikan
manusia terhadap hak-hak mereka dan  janganlah kamu membuat kejahatan di muka
bumi dengan membuat kerusakan.” (Hud  85)
Hadits Dari Abdullah bin Buraidah  Radhiallahu’anhu dari ayahnya tentang
dirajamnya wanita dari suku Al  Ghomidiyyah setelah melahirkan anak karena
zina. Lalu Rasulullah  Shalallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Demi zat yang
jiwaku ada di tangan-Nya,  sungguh wanita ini telah bertaubat dengan suatu
taubat yang seandainya  penarik maks (pajak) bertaubat seperti itu niscaya
Allah akan mengampuninya.”  (HR.Muslim no.1659)
Dalam hadits digambarkan betapa praktek pajak disetarakan dengan dosa besar 
sekelas zina sampai-sampai tobat bagi pemungutnya bisa diterima dengan cara 
dirajam sampai mati.

Imam Nawawi Rahimahullah menjelaskan bahwa dalam hadits ini terdapat beberapa 
pelajaran yang agung diantaranya ialah : “Bahwasanya pajak termasuk 
sejahat-jahat kemaksiatan dan termasuk dosa yang membinasakan (pelakunya),  hal
ini lantaran dia akan dituntut oleh manusia dengan tuntutan yang banyak  sekali
di akhirat nanti” (Syarah Shahih Muslim jilid 11 hal.202)
Hadits Rasulullah  Shalallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Sesungguhnya
pelaku/pemungut pajak  (diadzab) di neraka” (HR. Ahmad jilid 4 hal.109)
Ijma’ kaum Muslimin, Imam Ibnu  Hazm Al Andalusi Rahimahullah mengatakan dalam
kitabnya, Maratib Al Ijma’  (hal. 121), dan disetujui oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah  :”Dan mereka (para ulama) telah sepakat bahwa para
pengawas (penjaga) yang  ditugaskan untuk mengambil uang denda (yang wajib
dibayar) di atas  jalan-jalan, pada pintu-pintu (gerbang) kota, dan apa-apa
yang (biasa)  dipungut dari pasar-pasar dalam bentuk pajak atas barang-barang
yang dibawa  oleh orang-orang yang sedang melewatinya maupun (barang-barang
yang dibawa)  oleh para pedagang (semua itu) termasuk perbuatan zhalim yang
teramat besar,  (hukumnya) haram dan fasik.
Kecuali apa yang mereka pungut  dari kaum muslimin atas nama zakat barang yang
mereka perjualbelikan (zakat  perdagangan) setiap tahunnya, dan (kecuali) yang
mereka pungut dari para ahli  harbi (kafir yang memerangi agama Islam) atau
ahli dzimmi (kafir yang harus  membayar jizyah sebagai jaminan keamanan di
negeri muslim), (yaitu) dari  barang yang mereka perjualbelikan sebesar
sepersepuluh atau setengahnya, maka  sesungguhnya (para ulama) telah beselisih
tentang hal tesebut, (sebagian)  berpendapat mewajibkan negara untuk mengambil
dari setiap itu semua, sebagian  lain menolak untuk mengambil sedikitpun dari
itu semua, kecuali apa yang telah  disepakati dalam perjanjian damai dengan
dengan ahli dzimmah yang telah  disebut dan disyaratkan saja”

Yang Diwajibkan Adalah Zakat, Bukan Pajak
Sebagian orang mungkin beranggapan  bahwa pajak dapat di qiyaskan (analogikan)
dengan zakat atau lebih ekstrim lagi  mereka menjadikan pajak sebagai pengganti
syari’at zakat. Untuk itu seorang  Muslim harus mengetahui perbedaan yang jelas
antara keduanya sehingga tidak  terjerumus kedalam kekeliruan pemahaman dalam
perkara ini, mengingat tidak  sedikit kaum Muslimin hari ini yang sudi membayar
pajak namun mengabaikan  kewajiban berzakat. Diantara perbedaan pajak dan zakat
adalah,
Zakat adalah memberikan sebagian  harta menurut kadar yang ditentukan oleh
Allah Azza Wa Jalla bagi orang yang  mempunyai harta yang telah sampai
nishabnya. Sedangkan pajak tidak ada  ketentuan yang jelas kecuali ditentukan
oleh penguasaa di suatu tempat.
Zakat berlaku bagi kaum muslimin saja, hal itu lantaran zakat berfungsi untuk 
menyucikan pelakunya, dan hal itu tidak mungkin kita katakan kepada orang 
kafir karena orang kafir tidak akan menjadi suci malainkan harus beriman 
terlebih dahulu. Sedangkan pajak (dalam arti jizyah) berlaku bagi orang-orang 
kafir yang tinggal di tanah kekuasaan kaum muslimin.
3. Zakat adalah salah satu bentuk syari’at Islam yang dicontohkan oleh 
Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam. Sedangkan pajak merupakan sunnahnya 
orang-orang jahiliyah yang asal-usulnya biasa dipungut oleh para raja Arab 
atau non Arab, dan diantara kebiasaan mereka ialah menarik pajak sepersepuluh 
dari barang dagangan manusia yang melalui/melewati daerah kekuasannya.


Memang ada beberapa persamaan yang dimiliki antara zakat dan pajak, 
diantaranya unsur paksaan yang dimiliki oleh dua aturan ini, pengelolanya 
(dalam hal ini adalah pihak berwenang sejenis lembaga khusus yang ditunjuk 
negara), sisi pengunaannya pun ada unsur kesamaan dari sisi peningkatan 
kesejahteraan masyarakat kecuali bila pajak di negri ini yang sebagian 
bbesarnya dialokasikan untuk koruptor dan jajarannya. Untuk itu seorang  Muslim
harus benar-benar sadar bahwa kewajiban mereka adalah membayar zakat  bukan
pajak, maka jangan sampai karena sibuk mengurus pajak sehingga lupa  membayar
kewajiban zakat Na’udzubillah.
Adakah Pajak Yang Dibolehkan ?
Dalam sub judul sebelumnya telah  disebutkan tentang keharaman pajak berikut
dalil-dalilnya sehingga mmenjadi  jelas bahwa hukum asal pajak adalah haram.
Namun ada kondisi-kondisi tertentu  pajak boleh diterapkan dengan syarat-syarat
sebgai berikut,
Hendaknya adil artinya kewajiban membayar pajak didistribusikan di antara 
rakyat dengan adil, tidak hanya dibebankan pada kelompok orang kaya tertentu. 
Pajak hanya boleh dibebankan atas orang-orang kaya, masing-masing orang  sesuai
dengan tingkat kekayaannya. Tidak boleh membebankan pajak atas fakir  miskin.
Tidak boleh membebankan pajak atas semua orang, baik kaya ataupun  miskin.
Hendaknya Baitul Mal yang pada era sekarang disebut kas negara dalam  kondisi
kosong. Sehingga jika kas negara berlimpah ruah dikarenakan sumber  pendapatan
negara yang lain maka tidak boleh mewajibkan pajak atas rakyat.  Pajak dalam
kondisi kas negara berlimpah itu dinilai sebagai pajak yang haram  bahkan
tergolong dosa besar.
Pajak hanya diwajibkan atas rakyat dalam kondisi tertentu ketika menghadapi 
permasalahan yang sangat mendesak. Tidak boleh menjadikan pajak sebagai  aturan
yang bersifat terus menerus pada semua waktu.
Dana hasil pajak tersebut  dibelanjakan oleh negara dalam hal-hal yang
bermanfaat secara real bagi  rakyat, tidak ada yang dipergunakan untuk maksiat
atau untuk perkara yang  tidak mendatangkan manfaat semisal dana yang
dikeluarkan negara untuk  kepentingan artis, seniman atau pemain sepak bola.

Contoh dari penerapan pajak jenis ini adalah apabila Baitul Mal (Kas Negara) 
dalam keadaan defisit sementara ada kebutuhan negara yang harus dipenuhi dan 
mendesak seperti keperluan jihad dan keperluan pasukan dalam menjaga 
perbatasan dalam rangka mempertahankan negara atau membantu daerah yang 
terkena bencana sehingga dibutuhkan adanya suntikan dana untuk memenuhi 
kebutuhan tersebut. (Al ‘Itishom, jilid 2 Bab Al Maslahah Al Mursalah, Imam 
Asy Syathibi; Al Mausuah Al Fiqhiyyah Al Kuwatiyyah jilid 8 hal.247)
Jika Pajak Haram Maka Darimana  Sumber Keuangan Negara ?
Dalam Islam aturan-aturan  bernegara sudah mapan dan dijelaskan secara
gambalang oleh para ulama, pun  demikian dengan system keuangannya. Jika Islam
melarang pelaksanaan pajak  bukan berarti negara yang menggunakan sistem Islam
tidak mempunyai sumber  pendapatan. Berikut ini adalah sumber pendapatan negara
dalam sistem Islam, Zakat,  sebagaimana diwajibkan dalam Al Qur’an surat At
Taubah 60 Jizyah, sejenis  upeti dari orang kafir dzimmi yang hidup dibawah
kekuasaan kaum Muslimin, Al  Qur’an surat At Taubah 29 Ghonimah, harta rampasan
perang yang didapat  melalui peperangan melawan musuh, Al Qur’an surat Al Anfal
41 dan Al Hasyr 7 Al  Kharaj, sebagaimana sudah diterangkan diatas Sisa harta
waris yang tidak  habis dibagikan
Infaq dan Shodaqoh kaum Muslimin Pajak incidental, sebagaimana dijelaskan 
dalam sub judul diatas Al’Usyur, bea cukai yang diambil dari orang kafir yang 
menjual komoditinya di wilayah Islam, dalilnya adalah riwayat dari Anas bin 
Malik Radhiallahu’anhu , Sesungguhnya Umar bin Khottob Radhiallahu’anhu 
memerintahkan untuk mengambil bea cukai atas barang yang didatangkan oleh 
kafir dzimmi sebesar lima persen. Sedangkan barang yang didatangkan oleh  kafir
harbi ditariki bea cukai sebesar sepuluh persen. (HR.Al Baihaqi  no.18543)

Sumber-sumber diatas dijelaskan oleh para ulama diantaranya dalam Kitab Al 
Majmu’ Al Fatawa Bab Siyasah Syar’iyyah Ibnu Taimiyyah, Ahkamul Sulthoniyyah 
Imam Al Mawardi, dan lain-lain.

Demikian ulasan tentang pajak dalam kacamata Islam, semoga dengan ulasan ini 
umat Islam bisa menyikapi pajak dengan kacamata yang bijak dan tepat.
Sumber : KeluargaDakwah.com

1 komentar: